“Dari tanah Svarnadwipa yang berkilau emas itu, dari tepian Batanghari yang mengalir tenang, Jambi berbicara kepada Indonesia :
“Kami pernah besar, dan kami siap menjadi besar kembali—bersama Indonesia.”
Oleh: Dr. FAHMI RASID
Sekretaris Pusdiklat LAM PROVINSI JAMBI
DIRGAHAYU .ID – FOTO – FOTO DI – ATAS, mungkin tampak seperti undangan biasa: jajaran tokoh berbusana adat Melayu Jambi, berpadu dalam warna keemasan, dengan latar Museum Svarnadwipa Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muara Jambi. Namun bagi masyarakat Jambi, gambar itu bukan sekadar promosi acara; ia adalah simbol kesadaran baru, sebuah ajakan untuk menengok masa silam dan menata arah masa depan bangsa melalui akar budaya sendiri.
Seminar Nasional bertema “Kedigdayaan Melayu Jambi sebagai Penguatan Arah Pembangunan Nasional” bukanlah pertemuan seremonial belaka. Ia merupakan momen kebangkitan kembali spirit peradaban Melayu Jambi yang selama berabad-abad mengalir di nadi sejarah Nusantara. Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi bersama KCBN Muara Jambi mencoba meneguhkan kembali keyakinan lama: bahwa pembangunan tanpa budaya adalah tubuh tanpa jiwa.
Menyelami Jejak Peradaban Svarnadwipa
Candi Muara Jambi, tempat diselenggarakannya seminar ini, bukan hanya gugusan batu bata kuno yang disusun apik di tepian Batanghari. Ia adalah saksi bisu dari masa ketika Jambi menjadi pusat ilmu dan spiritualitas dunia Melayu. Para pendeta, pelajar, dan saudagar dari India serta Asia Timur datang ke Svarnadwipa“Pulau Emas” untuk belajar, berdagang, dan berinteraksi.
Jejak inilah yang disebut oleh Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, sebagai bukti bahwa peradaban Melayu Jambi telah memiliki cultural agency yang tinggi jauh sebelum istilah “pembangunan nasional” dikenal. Ia menjadi bukti bahwa Jambi memiliki warisan universal: semangat terbuka, toleran, dan ilmiah.
Dan kini, semangat itu dihidupkan kembali dalam konteks pembangunan masa kini bahwa modernisasi tidak harus memutus akar tradisi, melainkan menyerap hikmah sejarah sebagai energi penggerak.
Kedigdayaan: Bukan Romantisme, Melainkan Kesadaran Baru
Dalam pandangan Drs. H. Hasan Basri Agus, M.M., Ketua Umum LAM Provinsi Jambi, tema kedigdayaan lahir dari refleksi panjang : bahwa kebesaran Jambi di masa lampau harus menjadi inspirasi bagi masa depan. “Abad-abad yang lalu, orang datang dari berbagai negara ke Muara Jambi. Itu menandakan Jambi pernah besar dan dikdaya. Maka kenapa tidak kita dengungkan kembali? Supaya Jambi dapat men-support pembangunan nasional, dan sebaliknya, nasional memperhatikan Jambi,” ujarnya.
Pernyataan itu bukan nostalgia, melainkan strategi kebudayaan. Dalam teori structuration Anthony Giddens, masa lalu bukan hanya memori, tetapi sumber daya yang bisa direproduksi menjadi struktur sosial baru. Artinya, kedigdayaan Melayu bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan modal sosial dan kultural (Bourdieu, 1986) untuk memperkuat posisi Jambi dalam arus pembangunan modern.
Dari Lokal ke Nasional: Dialektika Identitas dan Pembangunan
Gubernur Jambi, Dr. H. Al Haris, S.Sos., M.H., yang bergelar adat Datuk Mangkubumi Setio Alam, telah lama menegaskan bahwa pembangunan Jambi harus berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal. Dalam berbagai kesempatan, ia menyebut pentingnya menjaga harmoni antara pembangunan fisik dan pembangunan budaya.
Dalam konteks ini, tema seminar menjadi relevan. Kedigdayaan Melayu Jambi tidak hanya bicara tentang kebanggaan, tetapi tentang arah. Bahwa ketika bangsa menata pembangunan nasional yang berkeadilan, maka daerah-daerah seperti Jambi memiliki hak dan tanggung jawab moral untuk berkontribusi, melalui keunggulan sejarah dan kebudayaan yang dimiliki.
Sebagaimana pandangan Soedjatmoko (1983), pembangunan yang berakar pada kebudayaan lokal akan melahirkan bangsa yang berkepribadian kuat. Nilai-nilai budaya menjadi kompas moral yang menuntun agar kemajuan ekonomi tidak kehilangan arah kemanusiaan.
Para Cendekia di Panggung Kedigdayaan
Foto seminar di atas menampilkan wajah-wajah yang mewakili beragam disiplin: Dr. Fadli Zon, S.S., M.Sc., Menteri Kebudayaan, membawa perspektif nasional tentang diplomasi budaya; Prof. Dr. H. Syaidi Asyari, M.A., Ph.D., Ketua Puslitbang LAM Jambi, menghadirkan kedalaman akademik; Prof. Agus Aris Munandar memberikan dasar arkeologis; dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M., M.A. dari Yogyakarta memperkaya dengan teori pengembangan Melayu Nusantara.
Kolaborasi lintas ilmu dan lintas wilayah ini menunjukkan bahwa Melayu Jambi bukan entitas tertutup, tetapi jaringan kebudayaan yang dinamis. Kedigdayaan bukan berarti dominasi, melainkan kemampuan untuk berdiri teguh di tengah arus globalisasi tanpa kehilangan arah lokalitas.
Muara Jambi : Cermin untuk Masa Depan
Jika di masa lalu Muara Jambi menjadi pusat spiritual dan intelektual, kini ia diharapkan menjadi pusat pertemuan gagasan kebangsaan. Dalam perspektif cultural policy, situs bersejarah seperti KCBN Muara Jambi dapat berfungsi sebagai “ruang dialog peradaban” tempat bertemunya akademisi, pemerintah, dan masyarakat adat untuk membangun narasi kebangsaan yang inklusif.
Museum Svarnadwipa yang menjadi lokasi seminar dipilih bukan tanpa alasan. Di sanalah simbol-simbol kejayaan masa lalu berpadu dengan semangat modernisasi, menunjukkan bahwa masa depan dapat lahir dari rahim tradisi.
Dari Candi ke Panggung Pembangunan
Gagasan besar “Kedigdayaan Melayu Jambi” sejatinya berkelindan dengan arah pembangunan Jambi masa kini. Pemerintah Provinsi Jambi sedang mendorong proyek-proyek strategis, dari pengembangan Pelabuhan Ujung Jabung hingga Terminal Peti Kemas Muaro Jambi, yang menjadi simpul konektivitas ekonomi baru.
Namun di balik pembangunan fisik, ada yang lebih penting: pembangunan jiwa daerah. Sebab, sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Kebudayaan adalah buah budi manusia yang dapat memperhalus kehidupan.” Tanpa nilai budaya, pembangunan akan kehilangan roh, dan tanpa roh, kemajuan hanyalah kulit.
Dengan demikian, seminar ini bukan sekadar diskusi budaya, tetapi pernyataan strategis bahwa identitas Melayu Jambi harus menjadi fondasi pembangunan nasional yang berkarakter.
Kedigdayaan sebagai Titik Temu
Dari percakapan hangat antara para tokoh LAM, akademisi, dan pejabat pemerintah, lahir kesadaran baru: bahwa pembangunan nasional memerlukan pondasi nilai. Bahwa untuk maju, Indonesia harus menatap masa depan tanpa melupakan masa lalunya.
Kedigdayaan Melayu Jambi menjadi titik temu antara sejarah dan kebijakan, antara kebanggaan lokal dan tanggung jawab nasional. Ia menjadi simbol bahwa pembangunan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling berakar.
Menjemput Masa Depan dari Akar Sejarah
Foto para tokoh dalam balutan pakaian adat itu seolah berbicara: kita tidak sedang kembali ke masa lalu, kita sedang menjemput masa depan dengan membawa cahaya dari masa silam.
Melayu Jambi, dengan nilai-nilai adat, bahasa, kesantunan, dan kebijaksanaan yang diwariskan turun-temurun, adalah aset peradaban yang dapat menuntun arah pembangunan nasional. Jika masa lalu pernah menjadikan Jambi sebagai pusat ilmu dan budaya, maka kini tugas kita adalah menghidupkan kembali kedigdayaan itu dalam bentuk baru, pada pendidikan, ekonomi kreatif, kebijakan publik, dan tata kelola kebudayaan.
Karena pada akhirnya, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Maka bangsa yang berdaulat, adalah bangsa yang menghormati peradaban yang melahirkannya.
Dari tanah Svarnadwipa yang berkilau emas itu, dari tepian Batanghari yang mengalir tenang, Jambi berbicara kepada Indonesia:
“Kami pernah besar, dan kami siap menjadi besar kembali bersama Indonesia.”
