Oleh: Letkol (Purn) Firdaus
Jambi , Dirgahayu.id – DALAM sejarah umat manusia, tak satu pun kekuasaan yang bertahan selamanya. Dari para raja besar di masa lalu, penguasa dunia modern, hingga pemimpin kecil dalam suatu organisasi, semuanya pada akhirnya akan menanggalkan jabatannya. Ungkapan “kekuasaan tidak ada yang abadi” bukan sekadar kalimat, tetapi pengingat akan hakikat bahwa kekuasaan hanyalah titipan yang bersifat sementara.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah dari Allah SWT. Disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia memberi kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki dan mencabutnya dari siapa yang Dia kehendaki.” (Q.S. Ali Imran: 26).
Artinya, siapa pun yang memegang kekuasaan wajib sadar bahwa ia hanyalah pelaksana kehendak Tuhan, dan suatu hari nanti akan dimintai pertanggungjawaban.
Secara filosofis, kekuasaan lahir dari waktu dan akan sirna oleh waktu. Ia datang membawa tantangan, lalu pergi meninggalkan jejak. Maka, bijaksana lah dalam menggunakan kekuasaan. Jangan terlena oleh pujian, jangan silau oleh wewenang. Ukurlah diri bukan dari berapa lama berkuasa, tapi dari seberapa besar manfaat yang diberikan.
Hal ini dikuatkan oleh kutipan bijak tokoh dunia:
“Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” (Hampir semua orang bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika kamu ingin menguji karakter seseorang, berikanlah kekuasaan kepadanya) – Abraham Lincoln
Maksud dari kutipan ini adalah bahwa sifat asli seseorang tidak selalu terlihat saat dia menghadapi tantangan atau penderitaan, tetapi justru akan terlihat ketika dia memiliki kekuasaan dan wewenang—apakah dia tetap rendah hati dan adil, atau malah menjadi sewenang-wenang.
“Power is of two kinds. One is obtained by the fear of punishment and the other by acts of love. Power based on love is a thousand times more effective and permanent.” (Kekuasaan ada dalam dua bentuk. Yang satu diperoleh melalui ketakutan akan hukuman, dan yang lainnya melalui tindakan kasih sayang. Kekuasaan yang berdasarkan kasih sayang jauh lebih efektif dan abadi, seribu kali lebih kuat) – Mahatma Gandhi
Kutipan ini mengungkapkan bahwa kekuasaan yang dibangun atas dasar cinta dan kebaikan memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dan bertahan lama dibandingkan dengan kekuasaan yang hanya didorong oleh ketakutan atau ancaman.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” – Ir. Soekarno
Maksud dari pernyataan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” yang disampaikan oleh Ir. Soekarno adalah:
“Kita harus selalu mengingat dan menghargai perjalanan sejarah, baik itu peristiwa-peristiwa besar maupun perjuangan yang telah dilalui oleh bangsa ini. Sejarah merupakan pelajaran penting untuk masa depan agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama, serta untuk mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita.”
Soekarno menekankan pentingnya mengenang sejarah sebagai landasan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Tanpa pemahaman tentang sejarah, kita bisa kehilangan arah dan identitas bangsa. Sebuah pengingat agar kita terus menghargai jasa para pahlawan dan belajar dari perjalanan sejarah negara.
“Being powerful is like being a lady. If you have to tell people you are, you aren’t.” (Menjadi seseorang yang berkuasa itu seperti menjadi seorang wanita. Jika kamu harus memberitahu orang bahwa kamu berkuasa, maka sebenarnya kamu tidak berkuasa). – Margaret Thatcher
Kutipan ini menyiratkan bahwa kekuatan sejati tidak perlu diumbar atau diumumkan secara terbuka. Kekuasaan yang sejati terpancar melalui tindakan dan pengaruh, bukan sekadar kata-kata atau pengakuan diri. Sama halnya dengan kewanitaan, keanggunan atau kekuatan seorang wanita terlihat dari perilaku dan sikapnya, bukan dari klaim yang dia buat.
“It is better to lead from behind and to put others in front… when the work is done, they will think they did it themselves.” (Lebih baik memimpin dari belakang dan menempatkan orang lain di depan… ketika pekerjaan selesai, mereka akan merasa mereka yang melakukannya). – Nelson Mandela
Kutipan ini mengajarkan tentang kepemimpinan yang bijaksana dan rendah hati. Seorang pemimpin yang baik tidak selalu harus berada di garis depan atau mencari perhatian untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, dia memberi kesempatan kepada orang lain untuk bersinar dan meraih keberhasilan, sementara tetap memberikan arahan dengan cara yang tidak mencolok. Dengan demikian, orang lain akan merasa memiliki pencapaian itu dan lebih termotivasi untuk terus maju.
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa kekuasaan sejati bukan tentang dominasi, melainkan tentang pelayanan, keteladanan, dan pengaruh yang membekas.
Dalam konteks organisasi, kepemimpinan yang baik adalah yang sadar akan batas waktu. Pemimpin yang bijak menyiapkan regenerasi, membuka ruang diskusi, dan mewariskan nilai, bukan sekadar jabatan. Sebab yang akan dikenang bukan kursi kekuasaannya, tetapi integritas dan kontribusinya.
Akhirnya, marilah kita semua—baik yang sedang menjabat maupun yang akan menjabat—menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk berbuat kebaikan. Sebab saat tirai ditutup dan panggung ditinggalkan, yang tersisa hanyalah nama baik dan amal perbuatan.**