Dampak Dekotomi Militer dan Sipil di Indonesia: Antara Reformasi dan Kehilangan Keseimbangan Bernegara

Gambar ilustrasi Militer dan Sipil. (foto :Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.)

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

1. *Latar Belakang Dekotomi Militer dan Sipil*

Dirgahayu.id – Dekotomi militer dan sipil menjadi isu sentral dalam dinamika politik Indonesia pasca-reformasi 1998. Istilah ini muncul seiring dengan tuntutan masyarakat sipil untuk membatasi peran militer dalam kehidupan sosial dan politik. Sebelum reformasi, khususnya di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, militer—terutama TNI Angkatan Darat—memegang peran dominan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsep _Dwi Fungsi ABRI_ yang berlaku saat itu menempatkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sebagai institusi yang tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga berperan aktif dalam bidang sosial politik. Para perwira militer menempati berbagai posisi strategis di pemerintahan, legislatif, dan sektor-sektor lainnya, menjadikan militer sebagai kekuatan utama dalam pengambilan keputusan negara.

Namun, dominasi ini tidak selalu diterima dengan baik oleh masyarakat sipil. Muncul anggapan bahwa ABRI terlalu overconfident, melampaui batas kewenangannya, dan bahkan menjadi alat kekuasaan yang represif. Akumulasi ketidakpuasan inilah yang meledak saat reformasi pecah, di mana kemarahan terhadap Orde Baru turut menyeret ABRI sebagai simbol kekuasaan yang harus dihancurkan.

2. *Reformasi 1998 dan Pemisahan TNI-Polri*

Ketika gelombang reformasi menggulingkan Soeharto dari tampuk kekuasaan, amarah publik terhadap ABRI pun meledak. Banyak anggota TNI AD dan Kepolisian menjadi sasaran kekerasan massa. Di Jakarta, banyak personel militer dan polisi mengalami penganiayaan fisik sebagai bentuk pelampiasan dendam masyarakat. Beruntung, TNI Angkatan Laut masih memiliki kepercayaan di mata rakyat dan berhasil meredam situasi yang semakin memanas.

Dari peristiwa ini, lahirlah kebijakan pemisahan TNI dan Polri. Undang-Undang baru menghapus peran politik militer dengan menghilangkan Fraksi ABRI di parlemen serta membatasi TNI hanya pada fungsi pertahanan. Sementara itu, Polri difokuskan pada fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat. Reformasi ini didorong oleh keinginan untuk memperkuat demokrasi dengan membangun supremasi sipil yang lebih dominan dalam tata kelola negara.

Namun, di balik semua itu, ada dampak besar yang tidak dipikirkan secara matang: hilangnya penyeimbang dalam sistem pemerintahan.

3. *Pemisahan TNI dan Polri*

• Pemisahan TNI dan Polri secara resmi diatur dalam *Tap MPR No. VI/MPR/2000* tentang *Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia*. Keputusan ini menegaskan bahwa TNI berperan dalam bidang pertahanan negara, sedangkan Polri bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban masyarakat.

• Kemudian diperkuat dalam *Tap MPR No. VII/MPR/2000* tentang *Peran TNI dan Polri*, yang menegaskan bahwa TNI tidak lagi bertanggung jawab atas urusan keamanan dalam negeri, yang sepenuhnya menjadi tugas Polri.

4. *Pembatasan Peran TNI dalam Sosial Politik dan Penghapusan Fraksi ABRI di DPR/MPR*

• Pembatasan peran politik TNI diatur dalam *Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia*. Dalam Pasal 39 ayat (2) UU ini disebutkan bahwa TNI harus netral dalam kehidupan politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.

• Penghapusan Fraksi ABRI di parlemen diatur dalam *Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik*, yang menghilangkan keterwakilan TNI/Polri dalam DPR dan MPR sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi sipil.

Dengan dasar hukum ini, TNI resmi tidak lagi memiliki peran politik seperti pada era Orde Baru. Namun, seperti yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya, kondisi ini juga membawa dampak negatif berupa hilangnya peran penyeimbang yang sebelumnya dipegang oleh TNI dalam menjaga stabilitas politik dan menahan pengaruh asing terhadap Indonesia.

5. *Reformasi Kebablasan dan Lemahnya Keseimbangan Negara*

Setelah dua dekade lebih reformasi, kita kini dihadapkan pada realitas pahit: negara mengalami ketimpangan yang semakin parah. Demokrasi yang diidamkan ternyata berubah menjadi *ajang oligarki dan kepentingan asing*. Sumber daya alam yang dulu dikelola oleh negara kini banyak jatuh ke tangan korporasi global dan elite ekonomi yang mengendalikan kebijakan nasional.

Dalam konteks ini, *peran militer sebagai penjaga keseimbangan semakin dipinggirkan*. TNI, yang sebelumnya mampu menjadi benteng kedaulatan dan penyaring kepentingan asing, kini hanya diposisikan dalam peran sempit sesuai tugas pokok dan fungsinya di bidang pertahanan. Sementara itu, institusi lain yang seharusnya mengisi *peran checks and balances* justru banyak tersandera oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Tidak heran jika muncul pertanyaan dari banyak pihak: _“Mengapa TNI diam saja ketika negara sudah carut-marut seperti ini..?”_ Jawabannya jelas : *TNI telah dikebiri. Institusi yang dahulu kuat kini seperti tangan dan kakinya diikat, mulutnya disumpal*, sehingga tidak dapat lagi bertindak untuk kepentingan bangsa secara lebih luas.

6. *Peran Positif TNI: Penjaga Kedaulatan dan Filter Pengaruh Asing*

Di tengah tantangan ini, kita tidak boleh lupa bahwa TNI masih memiliki peran strategis yang sangat penting dalam menjaga kedaulatan negara. Sebagai institusi yang tetap setia kepada bangsa dan negara, TNI harus tetap menjadi filter utama terhadap berbagai ancaman asing, baik dalam bentuk infiltrasi ideologi, ekonomi, maupun politik.

Selain itu, TNI juga harus tetap menjadi motor penggerak semangat _*”Bela Negara”*_, mengingatkan rakyat akan pentingnya menjaga kedaulatan dari ancaman eksternal dan internal. Tanpa kesadaran ini, Indonesia akan terus menjadi sasaran empuk bagi kepentingan asing yang ingin mengeruk kekayaan negeri ini tanpa perlawanan.

*Meski peran politik TNI telah dibatasi, bukan berarti peran strategisnya dalam menjaga stabilitas bangsa harus dihilangkan sepenuhnya*. Justru di tengah ancaman global yang semakin nyata, negara ini membutuhkan *TNI sebagai kekuatan penyeimbang yang mampu mencegah kehancuran lebih lanjut*.

7. *Jalan Keluar: Mengembalikan Keseimbangan Demi Masa Depan Bangsa*

Kini, tantangan terbesar kita adalah *bagaimana mengembalikan keseimbangan yang hilang*. Reformasi yang sudah berjalan harus dievaluasi ulang. *Demokrasi yang sehat bukan berarti menyingkirkan semua peran militer*, tetapi memastikan bahwa setiap elemen bangsa memiliki *peran yang proporsional demi kepentingan nasional*.

*TNI tidak harus kembali seperti era Orde Baru*, tetapi juga tidak boleh dibiarkan menjadi pasukan yang hanya berperan di barak tanpa kontribusi strategis bagi bangsa. *Harus ada mekanisme yang memungkinkan TNI tetap menjadi penjaga kedaulatan tanpa harus terseret dalam politik praktis*.

*Jika tidak, maka kita hanya tinggal menunggu waktu sampai negara ini benar-benar jatuh ke tangan asing tanpa ada kekuatan yang mampu membendungnya*.

*Dan jika itu terjadi, jangan lagi bertanya “mengapa TNI diam saja..?”—karena pada saat itu, semuanya mungkin sudah terlambat*.

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *